Berikut adalah tulisan Sdr Yopie Hidayat, yang saya ketik ulang dari Koran Kontan, kolom Kopi Sabtu Pagi edisi Sabtu,12 Januari:
Tahun babi sungguh penuh rejeki bagi para pemilik bank. Namun ada baiknya jika kita mulai membuat gerakan nasional untuk mengetuk hati nuranimereka, agar jangan menyuruh para bankirnya sekedar memburu laba sebanyak-banyaknya.
Tentu, tak salah mencari profit dalam berbisnis. Tapi bisnis perbankan sebetulnya juga punya peran lain yang sangat signifikan buat ekonomi. Jika para pemilik bank hanya berlomba-lomba memburu laba, ekonomi kita ya bakal begini-begini saja.
Sebelum jauh berbuih-buih soal idealisme, mari kita tengok betapa nikmatnya berbisnis bank pada 2007 lalu. Ibarat pedagang, tak ada istilah rugi di sini. Risikonya pun nyaris nol asal si bankir dan pemilik bank tidak kong-kalikong main gila.
Anda tentu mafhum, selama 2007 suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) berjangka sebulan turun tajam dari 9,5% menjadi 8%. Gampangnya, mari kita anggap bank sebagai pedagang duit. Karena bank bisa menaruh duit di SBI dan mendapat bunga, maka suku bunga SBI adalah "harga jual" bank untuk duit yang mereka peroleh dari masyarakat. Karena mayoritaspanan masyarakat ada dalam deposito satu bulan, kita bisa pakai bunganya sebagai patokan "harga beli" bank.
Nah, pada Januari 2007, laba bank dari menaruh duit di SBI rata-rata adalah 0,86%. Kendati bunga SBI luruh, per Oktober 2007 (data BI untuk rata-rata bunga deposito yang tersedia baru sampai Oktober)laba bank dari menaruh duit di SBI justru naik jadi 1,09%. Bank rupanya bisa menekan "harga beli" dengan menurunkan bunga deposito. Nasabah tak bisa melawan.
Berinvestasi di SBI itu setara dengan ongkang-ongkang bebas resiko. Tak ada ceritanya BI ngemplang kecuali Indonesia bubar.
Tak heran, makin banyak duit bank yang parkir di SBI. Jika pada Januari 2007 jumlahnya Rp. 217.4 triliun, per kemarin (11/1) sudah Rp. 295,54 triliun. Bayangkan, bank mendapat laba hampit Ri 3 triliun setahun dari sini.
Persoalannya makin mengesalkan karena bank juga enggan menurunkan "harga jualnya" yang lain, yakni bunga kredit. Niat tak mau mengurangi untung membuat bank punya seribu alasan untuk menahan bunga kredit.
Maka, laba bank dari selisih bunga kredit dengan bunga simpanan alias net interest margin (NIM) juga terus menggelembung. Jika pada Januari 2007 rata-ratanya adalah 7.9%, pada November 2007 sudah 8,3%.
Bunga kredit adalah salah satu faktor krusial bergeraknya ekonomi. Tanyalah pabrik mobil atau pengembang propeti. Betapa besar mereka menikmati pertumbuhan hanya karena turunnya bunga kredit, kendati cuma satu atua dua persen.
Celakanya, dalam situasi ini otoritas kita tak berdaya. BI mana bisa memaksa bank menurunkan bunga. Ini kan mekanisme pasar, Bung!
Pemerintah juga memble. Kendati punya empat bank yang termasuk pemain besar,ternyata ia tak dapat memaksa. Maklum, para bankir sekarang harus independen. Kalau sedikit-sedikit harus menurut perintah Bos, nanti ada kolusi. Lagipula pemerintah juga haus akan deviden raksasa dari bank miliknya.
Inilah sedihnya. Bank yang punya peran begitu besar dalam ekonomi ternyata sudah 100% menjadi ladang penyemai untung belaka. Kitapun tak bisa apa-apa untuk memperbaikinya.
Tahun babi sungguh penuh rejeki bagi para pemilik bank. Namun ada baiknya jika kita mulai membuat gerakan nasional untuk mengetuk hati nuranimereka, agar jangan menyuruh para bankirnya sekedar memburu laba sebanyak-banyaknya.
Tentu, tak salah mencari profit dalam berbisnis. Tapi bisnis perbankan sebetulnya juga punya peran lain yang sangat signifikan buat ekonomi. Jika para pemilik bank hanya berlomba-lomba memburu laba, ekonomi kita ya bakal begini-begini saja.
Sebelum jauh berbuih-buih soal idealisme, mari kita tengok betapa nikmatnya berbisnis bank pada 2007 lalu. Ibarat pedagang, tak ada istilah rugi di sini. Risikonya pun nyaris nol asal si bankir dan pemilik bank tidak kong-kalikong main gila.
Anda tentu mafhum, selama 2007 suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) berjangka sebulan turun tajam dari 9,5% menjadi 8%. Gampangnya, mari kita anggap bank sebagai pedagang duit. Karena bank bisa menaruh duit di SBI dan mendapat bunga, maka suku bunga SBI adalah "harga jual" bank untuk duit yang mereka peroleh dari masyarakat. Karena mayoritaspanan masyarakat ada dalam deposito satu bulan, kita bisa pakai bunganya sebagai patokan "harga beli" bank.
Nah, pada Januari 2007, laba bank dari menaruh duit di SBI rata-rata adalah 0,86%. Kendati bunga SBI luruh, per Oktober 2007 (data BI untuk rata-rata bunga deposito yang tersedia baru sampai Oktober)laba bank dari menaruh duit di SBI justru naik jadi 1,09%. Bank rupanya bisa menekan "harga beli" dengan menurunkan bunga deposito. Nasabah tak bisa melawan.
Berinvestasi di SBI itu setara dengan ongkang-ongkang bebas resiko. Tak ada ceritanya BI ngemplang kecuali Indonesia bubar.
Tak heran, makin banyak duit bank yang parkir di SBI. Jika pada Januari 2007 jumlahnya Rp. 217.4 triliun, per kemarin (11/1) sudah Rp. 295,54 triliun. Bayangkan, bank mendapat laba hampit Ri 3 triliun setahun dari sini.
Persoalannya makin mengesalkan karena bank juga enggan menurunkan "harga jualnya" yang lain, yakni bunga kredit. Niat tak mau mengurangi untung membuat bank punya seribu alasan untuk menahan bunga kredit.
Maka, laba bank dari selisih bunga kredit dengan bunga simpanan alias net interest margin (NIM) juga terus menggelembung. Jika pada Januari 2007 rata-ratanya adalah 7.9%, pada November 2007 sudah 8,3%.
Bunga kredit adalah salah satu faktor krusial bergeraknya ekonomi. Tanyalah pabrik mobil atau pengembang propeti. Betapa besar mereka menikmati pertumbuhan hanya karena turunnya bunga kredit, kendati cuma satu atua dua persen.
Celakanya, dalam situasi ini otoritas kita tak berdaya. BI mana bisa memaksa bank menurunkan bunga. Ini kan mekanisme pasar, Bung!
Pemerintah juga memble. Kendati punya empat bank yang termasuk pemain besar,ternyata ia tak dapat memaksa. Maklum, para bankir sekarang harus independen. Kalau sedikit-sedikit harus menurut perintah Bos, nanti ada kolusi. Lagipula pemerintah juga haus akan deviden raksasa dari bank miliknya.
Inilah sedihnya. Bank yang punya peran begitu besar dalam ekonomi ternyata sudah 100% menjadi ladang penyemai untung belaka. Kitapun tak bisa apa-apa untuk memperbaikinya.
No comments:
Post a Comment