Showing posts with label Bank in Coffee Talk. Show all posts
Showing posts with label Bank in Coffee Talk. Show all posts

Thursday, September 17, 2009

Bank Note Rp. 2.000.000.000,-

Berita mengenai perekonomian Zimbabwe yang mengalami inflasi gila-gilaan hingga memicu penerbitan mata uang dollar setempat dalam unit trilliunan bukan lagi berita yang baru. Namun akhir-akhir ini menggelitik saya untuk membandingkannya dengan situasi yang dialami rakyat Indonesia dari semejak kemerdekaan hingga kita merayakan ulang tahun ke 64 di 2009.

Selama masa kemerdekaan th 1945 hingga saat ini, kita telah mengalami paling tidak 4 kali perubahan besar nilai RUPIAH yaitu :

1. RUPIAH jaman Hindia Belanda (*) (Nederl-Indie) yang mana nilainya setara dengan Gulden. Ini bisa kita lihat pada mata uang kuno masa itu. Sebagai contoh bisa kita lihat pada koin perak yang pada satu sisinya tertera Nederl-Indie ¼ Gulden, pada sisi sebaliknya tertulis dalam aksara arab dan jawa yang menyebutkan nilainya adalah Seprapat Rupiyah (seperempat rupiah) seperti pada gambar berikut ini:


Setelah merdeka, Indonesia menerbitkan Oeang Repoeblik Indonesia (ORI) yang saya perkirakan nilai awalnya setara dengan uang Hindia Belanda, di atas hingga beberapa peristiwa besar berikutnya yang berkaitan dengan moneter di negeri ini terjadi.

2. RUPIAH jaman gunting Sjafruddin (**) (1950), dimana nilai rupiah mengalami pengguntingan nilai sebesar 50%, sehingga nilai tertera menjadi tinggal separonya saja. Sebagai contoh Rp.10 menjadi senilai Rp.5 (perbandingannya 2:1, atau bila dibalik maka Rp.1 yang baru sebenarnya = Rp.2 uang lama*).

3. RUPIAH jaman Orde Lama (***) (1959), Setelah mengalami pengguntingan nilai menjadi hanya separonya, kembali rupiah mengalami pemotongan/penghapusan nilai sebesar 90%, yaitu Rp.100, menjadi Rp.10,- (perbandingannya 10:1,atau bila dibalik maka Rp. 2 uang baru = Rp.20 uang lama**)

4. RUPIAH jaman Orde Baru (****) (1965), terjadi lagi pemotongan nilai rupiah menjadi sebesar 1/1000 uang Orla, sebagai acuan nilai uang Rp.1000, - nilainya ditetapkan menjadi Rp.1,- (perbandingannya 1000:1, atau bila dibalik maka Rp.20 yang baru = Rp.20.000 uang lama***)

Saya sengaja menyertakan perhitungan terbalik seperti yang tertulis dengan warna merah diatas, sekedar untuk menghitung balik berapa besar seharusnya angka yang tertulis pada mata uang kita sekarang di th 2009 bila tidak mengalami pemotongan atau penghapusan angka, namun alih-alih sebagai gantinya, pada setiap tahap kebijakan diatas dilakukan penambahan angka saja sesuai perbandingan yang diberlakukan untuk mata uang yang baru. Tanda asteris(bintang) menunjukan Rupiah yang mengalami perubahan nilai.

Berikut perhitungan saya dengan memakai uang Hindia-Belanda 1Gulden yang juga akan berarti sama dengan satu Satu Rupiyah (karena 1/4G = seprapat rupiyah*):

Rp.1*,- menjadi Rp.2**,- lalu menjadi Rp.20***,- kemudian menjadi Rp. 20.000****,-

Berdasar kalkulasi tersebut diatas, pada tahun 2009, dimana nominal terbesar mata uang kita sekarang adalah Rp.100.000,- (Seratus Ribu Rupiah) maka bila keempat peristiwa besar moneter tadi tidak diikuti dengan penghapusan angka(digit), tentunya yang tertulis pada mata uang terbesar di negeri ini sekarang adalah Rp.2.000.000.000,- (Dua Milyar Rupiah!).

Silakan memahaminya sendiri, semoga tulisan ini berguna!

Wednesday, March 25, 2009

RENMIMBI


Sebuah berita menarik kemarin muncul di situs BBC Indonesia, tentang kesepakatan pemakaian Renmimbi atau Yuan dalam hubungan dagang bilateral Indonesia – China.

Tentunya kesepakatan ini akan berpengaruh pada permintaan US dollar yang selama ini menjadi alat tukar dan acuan dalam transaksi Internasional antara pelaku bisnis dari Indonesia dengan pebisnis mancanegara.

Di masa depan, akankah Renmimbi/Yuan menjadi mata uang yang bakal menggantikan dominasi US dollar?

Saturday, January 12, 2008

Tak Berdaya Menahan Nafsu Pemburu Laba


Berikut adalah tulisan Sdr Yopie Hidayat, yang saya ketik ulang dari Koran Kontan, kolom Kopi Sabtu Pagi edisi Sabtu,12 Januari:

Tahun babi sungguh penuh rejeki bagi para pemilik bank. Namun ada baiknya jika kita mulai membuat gerakan nasional untuk mengetuk hati nuranimereka, agar jangan menyuruh para bankirnya sekedar memburu laba sebanyak-banyaknya.

Tentu, tak salah mencari profit dalam berbisnis. Tapi bisnis perbankan sebetulnya juga punya peran lain yang sangat signifikan buat ekonomi. Jika para pemilik bank hanya berlomba-lomba memburu laba, ekonomi kita ya bakal begini-begini saja.

Sebelum jauh berbuih-buih soal idealisme, mari kita tengok betapa nikmatnya berbisnis bank pada 2007 lalu. Ibarat pedagang, tak ada istilah rugi di sini. Risikonya pun nyaris nol asal si bankir dan pemilik bank tidak kong-kalikong main gila.

Anda tentu mafhum, selama 2007 suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) berjangka sebulan turun tajam dari 9,5% menjadi 8%. Gampangnya, mari kita anggap bank sebagai pedagang duit. Karena bank bisa menaruh duit di SBI dan mendapat bunga, maka suku bunga SBI adalah "harga jual" bank untuk duit yang mereka peroleh dari masyarakat. Karena mayoritaspanan masyarakat ada dalam deposito satu bulan, kita bisa pakai bunganya sebagai patokan "harga beli" bank.

Nah, pada Januari 2007, laba bank dari menaruh duit di SBI rata-rata adalah 0,86%. Kendati bunga SBI luruh, per Oktober 2007 (data BI untuk rata-rata bunga deposito yang tersedia baru sampai Oktober)laba bank dari menaruh duit di SBI justru naik jadi 1,09%. Bank rupanya bisa menekan "harga beli" dengan menurunkan bunga deposito. Nasabah tak bisa melawan.

Berinvestasi di SBI itu setara dengan ongkang-ongkang bebas resiko. Tak ada ceritanya BI ngemplang kecuali Indonesia bubar.

Tak heran, makin banyak duit bank yang parkir di SBI. Jika pada Januari 2007 jumlahnya Rp. 217.4 triliun, per kemarin (11/1) sudah Rp. 295,54 triliun. Bayangkan, bank mendapat laba hampit Ri 3 triliun setahun dari sini.

Persoalannya makin mengesalkan karena bank juga enggan menurunkan "harga jualnya" yang lain, yakni bunga kredit. Niat tak mau mengurangi untung membuat bank punya seribu alasan untuk menahan bunga kredit.

Maka, laba bank dari selisih bunga kredit dengan bunga simpanan alias net interest margin (NIM) juga terus menggelembung. Jika pada Januari 2007 rata-ratanya adalah 7.9%, pada November 2007 sudah 8,3%.

Bunga kredit adalah salah satu faktor krusial bergeraknya ekonomi. Tanyalah pabrik mobil atau pengembang propeti. Betapa besar mereka menikmati pertumbuhan hanya karena turunnya bunga kredit, kendati cuma satu atua dua persen.

Celakanya, dalam situasi ini otoritas kita tak berdaya. BI mana bisa memaksa bank menurunkan bunga. Ini kan mekanisme pasar, Bung!

Pemerintah juga memble. Kendati punya empat bank yang termasuk pemain besar,ternyata ia tak dapat memaksa. Maklum, para bankir sekarang harus independen. Kalau sedikit-sedikit harus menurut perintah Bos, nanti ada kolusi. Lagipula pemerintah juga haus akan deviden raksasa dari bank miliknya.

Inilah sedihnya. Bank yang punya peran begitu besar dalam ekonomi ternyata sudah 100% menjadi ladang penyemai untung belaka. Kitapun tak bisa apa-apa untuk memperbaikinya.

Tuesday, January 1, 2008

Modus Perbankan Niaga


D
ua modus utama perbankan adalah:

1. Penciptaan Utang dan Kredit, dengan system Cadangan Minimal,

Melalui sistem cadangan minimal terjadi penciptaan “uang baru”.

Diagram sederhana memperlihatkan bagaimana dengan sistem cadangan minimal perbankan, uang sebesar 1,000,000,- akan dicatatkan sebagai 900,000 + 810,000 + 729,000 + 656,100, dst... dalam pembukuan bank-bank melalui mekanisme simpan-pinjam. (klik pada gambar untuk memperjelas)


2. Pembungaan atas Utang-utang,
Dengan sistem bunga berbunga, sesungguhnya juga terjadi pelipatgandaan dalam penciptaan uang baru.

Untuk menggambarkan kedahsyatan sistem bunga berbunga, Albert Einstein menggambarkannya sebagai keajaiban dunia kedelapan.

J.A. Thauberger dalam Billion for The Bankers, membandingkan sebuah hutang sebesar $1 bila dihitung dengan bunga biasa 3%, dibandingkan dengan bunga berbunga 3% untuk masa pinjaman 1990 th.

Hasil dengan bunga biasa: $ 59

Hasil dengan bunga berbunga :
$ 19,342,814,713,834,066,795,298,816,-